Diusianya yang menginjak setengah
abad lebih, ia berjalan menyusuri setiap sudut Kota Jakarta menjajakan jasanya
sebagai tukang reparasi sol sepatu. Mengejar waktu, bertarung melawan peluh dan
kondisi fisik yang digerogoti oleh usia demi rupiah untuk keluaga kecilnya.
Pria senja ini bernama Didik. Profesi yang telah ditekuni
selama 20 tahun terakhir bisa dibilang telah menyelamatkan kondisi dapur
keluarganya agar tetap bisa mengepul. Dari matahari menampakkan wajahnya hingga
beranjak untuk mempersilahkan sang penguasa malam hadir di langit Jakarta, ia
berjalan sambil membawa tas kotak kayu yang berisi alat-alat yang digunakan “menyulap”
sepatu pelanggannya dari yang tainya rusak agar bisa digunakan kembali. Ia tak
pernah menghiraukan seberapa jauh ia harus membawa tubuh rentanya yang sering
diserang penyakit akibat dimakan usia. Lelaki yang mengenakan sendal jepit dan
topi lusuh ini hanya punya keyakinan bahwa kemana dan seberapa jauh langkah
kaki membawanya Tuhan sudah menyediakan rezeki baginya di tempat ia menuju.
Hasil mereparasi sol sepatu perharinya tidak menentu. Paling besar
hasil yang pernah didapat pria 65 tahun ini sekitar lima puluh ribu rupiah. Dan
kalau pelanggan lagi sepi upah yang dikumpulkan sebagai tukang reparasi sol
sepatu hanya lima belas ribu rupiah seharinya. Itu hanya sama dengan meraparasi
sepasang sepatu saja. Upah itu sebagian ditabung untuk dibawa kepada istrinya,
dan sisanya digunakan untuk biaya hidupnya sehari-hari selama di Jakarta yang
terkadang tidak cukup. Kontrakan tempat tinggal dirinya yang berada di dekat
kawasan RS Sumber waras dibayar lima ribu perhari. Terkadang ia hanya makan
sekali sehari jika omset yang didapat tidak mencukupi.
Ia mengaku hijrah ke Jakarta karena di desa asalnya, Garut,
tidak banyak lowongan pekerjaan yang tersedia. Ia hanya seorang diri yang
mencari nafkah ke ibukota, sedangkan istri dan kelima anaknya tetap di Garut. Sebulan
atau dua bulan sekali ia pulang ke Garut membawa hasil jerih payahnya yang
hanya pas-pasan. Istrinya, Aneh, membantu keuangan rumah tangganya dengan
menjadi kuli serabutan di Garut. Walau tidak besar, namun cukup untuk dua orang
renta ini untuk menjalani hari tua yang keras. Mereka tidak mau bergantung pada
kelima anaknya yang dimana tiga diantaranya telah memiliki keluarga
masing-masing dan dua lagi bekerja serabutan sama seperti Aneh. Karena mereka
tahu keadaan anak-anaknya juga tidak jauh berbeda dengan nasib yang dialami
mereka. Maka dari itu mereka tetap bersyukur masih dapat mencari nafkah bahkan
terkadang membantu keuangan keluarga anak-anaknya yang tengah sulit di usia
mereka yang tidak lagi muda.
Dengan wajah yang sudah dipenuhi kerutan dan tubuh yang lusuh,
sama seperti pakaian yang dikenakannya, ia masih dengan cekatan dan kuat untuk
membetulkan sol sepatu pelanggannya yang rusak. Awalnya ia mengaku kesulitan
dan memakan waktu yang cukup lama membetulkan sol sepatu yang rusak. Namun karena
pekerjaan tersebut telah digeluti berpuluh tahun lamanya, ia dapat membetulkan
sol sepasang sepatu yang rusak hanya sekitar 10 menit. Di wajahnya tampak wajah
kelelahan karena seharian telah berjalan dibawah payung terik siang. Namun juga
tersirat wajah penuh syukur karena dengan ia membetulkan sepatu yang rusak, itu
berarti ia akan mendapat upah dan itu juga berarti ia akan dapat memenuhi
kebutuhan dirinya dan keluarganya di desa. (SS)

folback yha http://purnamaglori.blogspot.com/
BalasHapusciee... nulis dia. keren.
BalasHapusdeng.. aku juga ada blog. :D
BalasHapusnih: http://efraimisme.blogspot.com
sama aja sih isinya kayak yang di wordpress ku. :D
Nice post. Inspiratif banget
BalasHapuskunjungi blog-ku juga yah
monicastella93.blogspot.com