Kamis, 21 November 2013

MENGAIS RUPIAH DIUSIA SENJA - Feature


Diusianya yang menginjak setengah abad lebih, ia berjalan menyusuri setiap sudut Kota Jakarta menjajakan jasanya sebagai tukang reparasi sol sepatu. Mengejar waktu, bertarung melawan peluh dan kondisi fisik yang digerogoti oleh usia demi rupiah untuk keluaga kecilnya.

Pria senja ini bernama Didik. Profesi yang telah ditekuni selama 20 tahun terakhir bisa dibilang telah menyelamatkan kondisi dapur keluarganya agar tetap bisa mengepul. Dari matahari menampakkan wajahnya hingga beranjak untuk mempersilahkan sang penguasa malam hadir di langit Jakarta, ia berjalan sambil membawa tas kotak kayu yang berisi alat-alat yang digunakan “menyulap” sepatu pelanggannya dari yang tainya rusak agar bisa digunakan kembali. Ia tak pernah menghiraukan seberapa jauh ia harus membawa tubuh rentanya yang sering diserang penyakit akibat dimakan usia. Lelaki yang mengenakan sendal jepit dan topi lusuh ini hanya punya keyakinan bahwa kemana dan seberapa jauh langkah kaki membawanya Tuhan sudah menyediakan rezeki baginya di tempat ia menuju.


Hasil mereparasi sol sepatu perharinya tidak menentu. Paling besar hasil yang pernah didapat pria 65 tahun ini sekitar lima puluh ribu rupiah. Dan kalau pelanggan lagi sepi upah yang dikumpulkan sebagai tukang reparasi sol sepatu hanya lima belas ribu rupiah seharinya. Itu hanya sama dengan meraparasi sepasang sepatu saja. Upah itu sebagian ditabung untuk dibawa kepada istrinya, dan sisanya digunakan untuk biaya hidupnya sehari-hari selama di Jakarta yang terkadang tidak cukup. Kontrakan tempat tinggal dirinya yang berada di dekat kawasan RS Sumber waras dibayar lima ribu perhari. Terkadang ia hanya makan sekali sehari jika omset yang didapat tidak mencukupi.

Ia mengaku hijrah ke Jakarta karena di desa asalnya, Garut, tidak banyak lowongan pekerjaan yang tersedia. Ia hanya seorang diri yang mencari nafkah ke ibukota, sedangkan istri dan kelima anaknya tetap di Garut. Sebulan atau dua bulan sekali ia pulang ke Garut membawa hasil jerih payahnya yang hanya pas-pasan. Istrinya, Aneh, membantu keuangan rumah tangganya dengan menjadi kuli serabutan di Garut. Walau tidak besar, namun cukup untuk dua orang renta ini untuk menjalani hari tua yang keras. Mereka tidak mau bergantung pada kelima anaknya yang dimana tiga diantaranya telah memiliki keluarga masing-masing dan dua lagi bekerja serabutan sama seperti Aneh. Karena mereka tahu keadaan anak-anaknya juga tidak jauh berbeda dengan nasib yang dialami mereka. Maka dari itu mereka tetap bersyukur masih dapat mencari nafkah bahkan terkadang membantu keuangan keluarga anak-anaknya yang tengah sulit di usia mereka yang tidak lagi muda.

Dengan wajah yang sudah dipenuhi kerutan dan tubuh yang lusuh, sama seperti pakaian yang dikenakannya, ia masih dengan cekatan dan kuat untuk membetulkan sol sepatu pelanggannya yang rusak. Awalnya ia mengaku kesulitan dan memakan waktu yang cukup lama membetulkan sol sepatu yang rusak. Namun karena pekerjaan tersebut telah digeluti berpuluh tahun lamanya, ia dapat membetulkan sol sepasang sepatu yang rusak hanya sekitar 10 menit. Di wajahnya tampak wajah kelelahan karena seharian telah berjalan dibawah payung terik siang. Namun juga tersirat wajah penuh syukur karena dengan ia membetulkan sepatu yang rusak, itu berarti ia akan mendapat upah dan itu juga berarti ia akan dapat memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya di desa. (SS)

4 komentar:

  1. folback yha http://purnamaglori.blogspot.com/

    BalasHapus
  2. ciee... nulis dia. keren.

    BalasHapus
  3. deng.. aku juga ada blog. :D

    nih: http://efraimisme.blogspot.com

    sama aja sih isinya kayak yang di wordpress ku. :D

    BalasHapus
  4. Nice post. Inspiratif banget

    kunjungi blog-ku juga yah
    monicastella93.blogspot.com

    BalasHapus